Jumat, 23 Januari 2009

GURU DAN REFORMASI PENDIDIKAN INDONESIA

Memasuki milenium ke-3 bangsa Indonesia diwarnai dengan era reformasi di segala bidang kehidupan, yang merupakan masa-masa sulit sebagai akibat krisis ekonomi yang parah. Fenomena yang muncul dari krisis yang berkepanjangan menunjukkan perubahan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, hukum dan juga pendidikan. Bahkan ditengarai munculnya krisis ekonomi kedua yang akibatnya bisa lebih parah dari krisis ekonomi pertama.

Kiranya, sudahlah cukup fakta-fakta yang menunjukkan bahwa memang sudah saatnya bangsa Indonesia menguji kembali paradigma pendidikan. Reformasi di bidang pendidikan merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar. Era reformasi sekaligus memberi harapan, tantangan dan kesempatan; namun berbagai kalangan masih mempertanyakan harapan, tantangan dan kesempatan apa bagi dunia pendidikan kita dalam melakukan reformasi. Hal demikian patut kiranya di sadari oleh semua pihak yang terpanggil untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Narasi besar apa sebetulnya yang sedang menimpa kita bersama? Atau barang kali dan jangan-jangan kita ini yaitu pendidik dan pendidikan yang menjadi biang dari segala krisis yang ada? Pertanyaan mengagetkan tentunya tetapi refleksi tentang apa dan bagaimana seyogyanya yang perlu kita lakukan dalam lingkup pendidikan itu sendiri?

Secara makro, gambaran sistem pendidikan masih menunjukkan ciri-ciri sentralisme dan juga masih bersifat tertutup. Di sisi lain, berbagai laporan pendidikan dari dalam maupun luar negeri secara implisit menyebutkan tentang kegagalan pemerintah Indonesia dalam penyelenggaraan pendidikan. Indonesia hanya berada di urutan ke –105 dari 174 negara dalam hal pembangunan manusia-nya, berada di bawah Singapura (22), Brunei (25), Malaysia (56); sementara Indonesia hanya berada pada urutan ke-37 dari 59 negara dalam hal daya saing, berada di bawah Singapura (1), Malaysia (16), dan Thailand (30) (Tilaar, 1999:hal 183). Jika hal demikian dibiarkan terus-menerus tidak mustahil sistem pandidikan kita lambat laun tetapi pasti, akan menjadi sistem pembodohan masyarakat.

Secara mikro, praktek kependidikan di Indonesia masih bertumpu kepada peran guru sebagi ujung tombak pemerintah dalam melaksanakan kebijakan kependidikannya. Namun pentingnya peran guru belum diimbangi oleh kesadaran pemerintah untuk memberdayakannya. Dalam posisi dibutuhkan tetapi tidak diperhatikan itulah maka sebagian guru kita mengalami stagnasi yaitu tidak mampu mengembangkan kreativitas mengajarnya karena tidak terdapat ruang untuk itu. Penelitian dari DR.Marsigit (1996) menunjukkan bahwa guru lebih suka menerapkan metode pembelajaran sesuai petunjuk Kepala Sekolah, Penilik Sekolah atau Pengawas daripada bereksperimen atau mencoba berbagai cara lain; karena hal itu lebih memberi rasa aman dan tenang bagi mereka. Dengan demikian mudahlah dipahami mengapa setiap usaha inovatif kependidikan yang disponsori perguruan tinggi tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Berbagai teori dan pengalaman mengajar yang diperoleh melalui penataran, kepelatihan dan studi lanjut di perguruan tinggi, tidak pernah dapat dipraktekan di sekolah; para guru akan kembali mengajar seperti semula ketika mereka kembali ke sekolah.

Gerakan reformasi pada hakekatnya adalah pergulatan antara ‘kemapanan’ dan ‘perubahan’ yang melibatkan unsur-unsur yang sangat kompleks dengan akibat-akibat yang terkadang sulit diduga. Elwyn Thomas (1995) menyebutkan bahwa reformasi pendidikan dapat terjadi oleh paling tidak 4 (empat) sebab yaitu : keadaan sosial politik, ekonomi, budaya dan perkembangan sain dan teknologi. Reformasi pendidikan akan terwujud jika reformasi politik menghasilkan fase pemerintahan yang mampu menyerap aspirasi dan mampu melakukan koreksi diri sehingga terdapat dorongan untuk melakukan restrukturisasi sistem pendidikan dan mengimplementasikan ideal-ideal pendidikan.

Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan kepribadian subyek didik. Dalam jangka pendek, pendidikan berarti proses belajar mengajar di kelas; dalam jangka menengah pendidikan berarti pengembangan subyek didik seutuhnya; dan dalam jangka panjang pendidikan merupakan fenomena kebudayaan yang menyangkut nilai-nilai moral, estetis dan budaya. Reformasi pendidikan jangka pendek perlu diprioritaskan kepada dihilangkannya hambatan teknis penyelenggaraan pendidikan sebagai akibat praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Sedangkan untuk jangka menengah perlunya penataan peraturan perundang-undangan yang menjamin tercapainya tujuan pendidikan dan masyarakat madani sehingga untuk jangka panjang maka sistem pendidikan nasional perlu menjamin pengembangan sumber daya manusia yang sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan hakekat keilmuan yang dikembangkannya, melestarikan dan mengembangkan terus menerus nilai-nilai kehidupan sesuai dengan kodratnya, dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.

Di bidang anggaran, reformasi perlu dilakukan untuk meninjau kembali rencana pembiayaan berasal dari pemerintah agar diberi prioritas kepada gaji guru sekolah dasar, dan membebaskan orang tua dari sema biaya pendidikan dasar; untuk itu mobilisasi dana pemerintah (APBN dan APBD) untuk pendidikan dan kepelatihan sekurang-kurangnya 25% dari APBN; penggunaan dana harus dilakukan secara transparan dengan melibatkan partisipasi masyarakat; dan dana pinjaman luar negeri harus lebih selektif dan diarahkan dan diprioritaskan kepada peningkatan kualtas mutu pendidikan dasar.

Reformasi pendidikan pada level mikro berarti reformasi pendidikan pada tingkat praktik pembelajaran yang dilakukan di kelas oleh para guru. Kita dapat melakukan analisis sederhana berangkat dari kondisi faktual yang ada pada praktek pembelajaran. Di dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, ketika bel dibunyikan sebagai tanda istirahat, maka serta merta para siswa kegirangan dan berebutan ke luar; ketika suatu hari diberitahu bahwa gurunya tidak dapat hadir karena sakit maka segenap siswa merasa senang dan lega dan mereka siap melakukan kegiatan yang bervariasi sesuai dengan seleranya masing-masing. Fenomena ini menurut pengamatan penulis terjadi hampir merata di seluruh Indonesia di semua jenjang pendidikan. Yang dapat ditarik kesimpulan dari fenomena ini adalah bahwa situasi dan kondisi kelas pembelajaran bukanlah sesuatu yang menggembirakan bagi subyek didik; lebih dari itu kelas seakan telah menjadi penjara-penjara bagi mereka dan guru seakan-akan adalah sipir-sipir penjara tersebut. Keadaan ini berrangkai bagi guru terhadap sekolah dan kepala sekolahnya; ketika diberitahu bahwa kepala sekolah tidak hadir karena sakit maka dengan serta merta para guru dan karyawan merasa senang dan lega seakan mereka kemudian dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa terkontrol oleh kepala sekolahnya. Sekolah bukanlah tempat yang menyenangkan bagi para guru dan segenap sivitasnya.

Secara nasional, pelaksanaan pendidikan perlu secara terus-menerus dikembangkan dengan memberi prioritas kepada usaha-usaha peningkatan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pengajaran merupakan faktor kunci bagi suksesnya pendidikan dasar karena usaha demikian berkaitan erat dengan peningkatan kualitas guru, penyediaan sarana dan prasrana yang memadai, pembenahan kurikulum, dan penerapan teknologi kependidikan. Jomtien (1994) menyatakan bahwa lebih dari dua dekade, ahli-ahli kependidikan telah menyadari bahwa kualitas pendidikan sangat bergantung kepada kualitas guru dan praktek-praktek pengajarannya, sehingga peningkatan kualitas mengajar guru merupakan isue mendasar bagi peningkatan kualitas pendidikan secara nasional. Kemampuan guru yang langsung mempengaruhi kualitas pengajaran meliputi perencanaan dan pengelolaan waktu, memahami dan mencapai tujuan pengajaran, mengorganisasikan berbagai aktivitas pengajaran, memanfaatkan sumber-sumber ajar, memilih satu atau bebe-rapa metode atau pendekatan mengajar, dan memanfaatkan umpan balik yang diperoleh untuk memperbaiki atau menyempurnakan pengajaran berikutnya. Gaya mengajar yang direfleksikan oleh seorang guru, sekelompok guru ataupun komunitas guru pada suatu negara tertentu, dipengaruhi oleh banyak faktor. Fakor-faktor tersebut meliputi kemampuan guru itu sendiri, ketersediaan sumber-sumber ajar dan fasilitas penunjang, serta kurikulum yang merupakan perwujudan dari suatu sistem pengajar-an/pendidikan yang dianut. Jadi mudahlah dipahami bahwa guru-guru diberbagai negara dengan sistem pendidikan yang berbeda, akan berbeda pula refleksi gaya mengajar mereka. Reformasi pendidikan pada level mikro dapat diukur seberapa jauh guru mampu bergeser dalam merefleksikan gaya mengajarnya dari ‘traditional’ menjadi lebih ‘progresif’.

Sementara, gambaran umum praktek pengajaran sekolah dasar dan menengah di Indonesia adalah peranan guru yang menonjol dalam menentukan segala aktivitas murid (teacher-directed); mereka menggunakan sebagian besar waktunya untuk memberikan informasi kepada siswa ( Jomtien,1994). Penelitian yang dilakukan oleh DR.Marsigit (1996) menunjukkan bahwa guru lebih banyak berfungsi sebagai pemberi perintah/instruksi, pertanyaan-pertanyaan, penjelasan dan tugas-tugas; murid kurang didorong untuk saling belajar antara satu dengan yang lainnya. Guru mengalami kesulitan dalam menangani kemampuan siswa yang berbeda-beda; mengalami kesulitan dalam menerapkan cara belajar siswa aktif; mengalami kesulitan dalam memanfaatkan sumber ajar khususnya media atau alat-peraga. Faktor utama yang mempengaruhi gaya mengajar adalah beban guru dalam mengantar para siswanya untuk memperoleh hasil akhir sebaik-baiknya (Nilai Kenaikan Kelas dan Ujian Nasional) dan beban kurikulum untuk menyelesaikan target silabus yang telah ditetapkan.

Siap atau tidak siap bangsa Indonesia dihadapkan kepada kenyataan bahwa era globalisasi menuntut peningkatan kualitas segenap komponen bangsa di berbagai bidang kehidupan. Teknologi informatika dan komunikasi berarti keterbukaan; dengan demikian maka transparansi, keterbukaan dan partisipasi akan menjadi isu dominan dalam pengembangan pendidikan. Transparansi, keterbukaan dan partisipasi akan memberikan segmen-segmen baru bagi aktivitas dan kegiatan masyarakat sekaligus penciptaan tenaga kerja oleh inisiatif masyarakat.

Dengan demikian paradigma pendidikan harus memberi ruang yang selebar-lebarnya bagi partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuknya, pengembangan profesionalitas, manajemen terbuka, pendidikan seumur hidup, kesadaran belajar, keaneka ragaman ketrampilan dan kejujuran dalam berkompetisi. Perkembangan pendidikan secara global, ditandai dengan adanya pergeseran titik pusat pendidikan (pembelajaran) dari pendidik ke siterdidik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menempatkan sibelajar sebagai titik pusat (sentral) dalam pendidikan akan memberikan implikasi yang luas dan berbeda dibanding dengan menempatkan pendidik sebagai titik sentral. ‘Transfer of knowledge’ dari guru ke murid telah dianggap sebagai paradigma yang kurang sesuai dengan hakekat mendidik. Sebagai alternatifnya maka mulai dikembangkan paradigma baru yaitu ‘cognitive-development’ sebagai upaya untuk mengembangkan potensi sibelajar. Dengan demikian peran guru juga mengalami pergeseran dari guru yang berfungsi sebagai pemberi ilmu menjadi berfungsi sebagai fasilitator dalam proses belajar mengajar. Sekolah perlu dikembangkan sebagai tempat multi-guna bagi pengembangan kebribadian subyek didik; dengan demikian paradigma persekolahan di waktu sekarang dan yang akan datang adalah bahwa sekolah merupakan laboratorium bagi berkiprahnya subyek didik untuk mengembangkan dirinya.

Paradigma baru pengembangan pendidikan di Indonesia harus selalu dikaji dan diredefinisi agar bangsa Indonesia mempunyai kemampuan secara fleksibel dan dinamis untuk menyesuaikan keadaan di sekitar dan dapat memperkirakan kebijakan-kebijakan di masa mendatang. Belajar dari negara-negara Barat, maka pengembangan pendidikan di Indonesia dapat merefleksikan dirinya ke dalam kutup-kutup pola pengembangan pendidikan melalui kajian paradigma bidang : politik pendidikan, filsafat pendidikan, pandangan tentang keilmuan, nilai atau moral, teori kemasyarakatan, teori tentang subyek didik, kemampuan, evaluasi, sumber ajar/belajar, dan budaya. Interaksi dan komunikasi antar segmen bangsa akan memberikan perspektif ke depan tentang ke mana bangsa ini akan menuju. Di dalam implementasi pembelajaran, maka akan tampak jelas perbedaan antara pendidikan yang belum inovatif (tradisional) dan pendidikan yang sudah inovatif (progresif). Perbedaan tersebut tampak seperti berikut:

Ciri Pembelajaran Tradisional Ciri Pembelajaran Progresif (Inovatif)

1. Bersifat Nasional (terpusat) 1. Mengadapsi ciri kedaerahan (otonomi)

2. Memberikan pendidikan otak 2. Memberikan pendidikan yang bulat
(jasmaniah, rokhaniah, social, emosional dan juga intelektual)

3. Mengutamakan hafalan 3. Mendidik untuk memecahkan soal-soal hidup
4. Pendidikan untuk anak-anak yang pandai 4. Untuk semua anak
5. Menyampaikan kebudayaan 5. Turut serta dalam pembudayaan

6. Siswa pasif (mendengar) 6. Siswa aktif
7. Pelajaran saling terpisah 7. Pelajaran dipadukan
8. Beroientasi kepada buku teks 8. Berorientasi kepada kehidupan
9. Menilai murid berdasarkan pekerjaan 9. Menggunakan bermacam-macam cara
untuk menilai murid
10. Pelajaran bersifat abstrak (ceramah) 10. Mengembangkan alat bantu mengajar
11. Pelajaran dengan klasikal 11. Kelompok/individual
12. Pelajaran bersifat formal 12. Tidak begitu formal
13. Materi yang sama untuk semua siswa 13. Materi sesuai dengan kebutuhan individu
14. Mengajar berisifat transmisi/transfer of 14. Murid menemukan dan membangun
knowledge struktur pengetahuan
15. Mendorong persaingan 15. Mendorong kerja-sama
16. Guru otoriter/mewajibkan 16 Kerjasama guru-murid-murid/kooperatif
17. Pendidikan uniformitas (penyeragaman) 17. Realitas hidup/mengakui perbedaan
18. Berorientasi kepada hasil 18. Hasil adalah juga termasuk prosesnya
19. Motivasi belajar bersifat eksternal 19. Motivasi belajar bersifat internal
20. Disiplin dan hukuman 20. Kesadaran dan tidak ada hukuman
21. Mencari jawaban benar 21. Jawaban salah bernilai pedagogis
22. Matematika sebagai ilmu kebenaran 22. Matematika sebagai proses berfikir
23. Pendidikan sebagai investasi 23. Pendidikan merupakan kebutuhan
24. Siswa sebagai empty vessel 24. Siswa perlu tumbuh dan berkembang
25. Metode mengajar tunggal 25. Metode mengajar barvariasi/fleksibel
26. Alat peraga sulit dikembangkan 26. Kreativitas guru dan lingkungan
bermanfaat untuk mengembangkan alat
peraga
27. Mengajar dengan tergesa-gesa 27. Sabar dan menunggu sampai siswa dapat
memahami konsep matematika

1 komentar:

  1. Hai Met kenal semua, blogmu oke nih. Siapa yg mau xlink gabung di follower this blog ama aku? kali aja bisa naikin traffic rank (popularitas blog/web)mu di dunia maupun Indonesia

    BalasHapus